Energi Berkeadilan #1: Merdeka dengan Energi
Terbarukan
Banyak Daerah di Indonesia yang Tidak Terjangkau
Energi Listrik
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan
panjang garis pantai lebih dari 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau.
Wilayah Indonesia terbentang dari ujung barat di Pulau Weh, Sabang sampai di
ujung timur di Merauke serta dari ujung utara di Pulau Miangas sampai ujung
selatan di Pulau Dana yang berjarak 4 km dari Pulau Rote. Selain luasnya
wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan, wilayah daratannya juga terbentang
gunung-gunung dan perbukitan. Kondisi geografis yang seperti ini, menyebabkan
tidak semua permukiman (daerah yang menjadi tempat tinggal) dapat terakses oleh
berbagai infrastruktur dengan baik. Salah satunya adalah akses terhadap
jaringan listrik. Banyak daerah yang belum terjangkau oleh jaringan listrik. Berdasarkan
data yang didapat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada saat
ini terdapat 2.519 desa atau 293.532 rumah yang masih gelap gulita dikarenakan
belum terjangkau oleh jaringan listrik.
Kawasan Terisolir Marga
Belimbing
Gambar 1. Lokasi Way Haru
Salah satu kawasan yang tidak terjangkau oleh jaringan
listrik adalah kawasan empat desa yang berada di Kecamatan Bengkunat Belimbing,
Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung. Empat desa tersebut adalah Bandar
Dalam, Way Haru, Way Tias dan Siring Gading. Kawasan tersebut biasa disebut
dengan Kawasan Marga Belimbing dikarenakan penduduk asli yang berdiam di daerah
tersebut adalah Suku Lampung dengan Marga Belimbing. Selain penduduk asli,
sekarang banyak sekali pendatang dari berbagai macam suku yang tinggal di
kawasan Marga Belimbing. Empat desa ini berjarak sekitar 25 km dari pusat
Kecamatan Bengkunat Belimbing. Kawasan empat desa tersebut tepatnya berbatasan
dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di sebelah timur, selatan dan utara
serta berbatasan dengan Samudera Hindia di sebelah barat. Bisa dikatakan daerah
tersebut merupakan daerah terisolir dikarenakan belum ada jalan yang tembus ke
daerah tersebut. Sampai saat ini pembangunan jalan belum mencapai setengah dari
total jarak yang harus dilalui. Sisanya merupakan semak belukar, serta melewati
pesisir pantai bertebing. Oleh karena itu, untuk mencapai daerah tersebut harus
memperhatikan jadwal pasang surut air laut agar celah antara tebing dan air
laut memungkinkan untuk dilewati.
Untuk menuju daerah tersebut, moda transportasi yang bisa digunakan
adalah sepeda motor yang dimodif dengan sedemikian rupa sehingga bisa melewati
jalanan berlumpur, semak belukar, melewati tepian pantai serta menyeberangi
muara. Moda transportasi yang lain adalah gerobak sapi. Masyarakat sendiri
kebanyakan memilih untuk berjalan kaki untuk keluar-masuk wilayah tersebut. Sementara,
sepeda motor dan gerobak sapi digunakan untuk mengangkut hasil pertanian untuk
dijual di Pasar Way Heni (pasar yang terletak di pinggir Jalan Lintas Barat
Sumatera) ketika keluar desa serta kembali ke desa dengan membawa barang
belanjaan berupa kebutuhan pokok sehari-hari. Rutinitas tersebut mereka lakukan
hampir setiap seminggu sekali. Sebenarnya, ada satu lagi alat transportasi yang
bisa ditempuh yaitu menggunakan kapal laut. Namun, masyarakat sendiri jarang
menempuh jalur tersebut karena mahalnya biaya yang harus dikeluarkan serta
memang tidak ada kapal yang secara rutin berlalu lalang dari Pelabuhan Kota
Jawa menuju tepian pantai Way Haru. Pelabuhan Kota Jawa merupakan pelabuhan
yang terletak sekitar 5 km dari pusat Kecamatan Bengkunat Belimbing. Tepian
Pantai Way Haru yang biasa digunakan untuk bersandar kapal, hanyalah sebuah
tepian pantai tanpa dermaga.
Gambar 2. Akses Transportasi Menuju
Kawasan
Kondisi tersebut mengakibatkan kawasan tersebut terisolir
baik dari akses jalan apalagi dari segi infrastruktur pembangkit listrik. Mau
tidak mau, jika daerah tersebut menginginkan adanya energi listrik, maka harus
terdapat pembangkit listrik sendiri di kawasan tersebut. Pembangkit listrik
yang biasa digunakan di daerah terisolir adalah mesin generator set atau yang biasa disebut dengan genset. Penggunaan
genset sangat tergantung dengan ketersediaan bahan bakar yang tentunya stoknya
sangat terbatas di kawasan terisolir. Oleh karena itu, penggunaan genset
sebagai pembangkit listrik di kawasan terisolir juga tidak sepenuhnya bisa
menjadi solusi yang tepat untuk membangkitkan listrik di kawasan terisolir
belum lagi harga bahan bakar yang akan sangat mahal.
Energi Terbarukan sebagai Solusi
Ketersediaan Energi Listrik di Wilayah Terisolir
Indonesia yang terletak di daerah tropis dan dilewati oleh
garis khatulistiwa menyebabkan hampir sepanjang tahun disinari oleh cahaya
matahari. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia memiliki potensi energi surya
yang besar. Berdasarkan data Kementrian ESDM pada tahun 2011 potensi rata-rata
radiasi surya di Indonesia adalah sekitar 4,8 kWh/m2/hari dengan
variasi bulanan sekitar 9%. Energi surya merupakan salah satu bentuk dari
energi terbarukan. Artinya adalah energi tersebut akan terus ada karena
sifatnya yang bisa diperbaharui. Pemanfaatan energi terbarukan yang maksimal
bisa menjadi solusi krisis energi yang terjadi di Indonesia, terutama di
daerah-daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Hidayatullah (2012)
menyatakan bahwa beberapa keuntungan yang diperoleh dari energi surya, antara
lain:
1. Bersih, ramah lingkungan
2. Energi terbarukan, tidak akan habis
3. Panel surya memiliki umur yang panjang/investasi jangka
panjang
4. Sangat cocok untuk iklim tropis seperti Indonesia
5. Mudah dipasang dan dirawat
6. Awet, bandel, tahan cuaca
Berdasarkan keunggulan-keunggulan tersebut, salah satu
alternatif dalam menghadirkan energi listrik di daerah yang termasuk dalam
daerah terisolir adalah dengan pemanfaatan energi surya. Untuk mengubah energi
surya menjadi energi listrik dibutuhkan seperangkat peralatan yang disebut
dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya.
Pada tahun 2016, Kementrian ESDM memiliki program berupa pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terpusat (PLTS Terpusat) di beberapa wilayah
terisolir di Indonesia. Di wilayah Marga Belimbing terdapat empat proyek
pembangunan PLTS Terpusat yang berada di Way Haru dan Bandar Dalam dengan
kapasitas masing-masing adalah 75 kWp serta di Way Tias dan Siring Gading
dengan kapasitas masing-masing adalah 30 kWp. Program PLTS terpusat tersebut
merupakan suatu upaya Pemerintah dalam menghadirkan energi listrik di daerah
terisolir. Namun, untuk mewujudkan PLTS Terpusat dibutuhkan kerja sama dari
semua pihak, khususnya masyarakat sasaran yang akan memanfaatkan energi listrik
tersebut. Harapannya adalah energi listrik dapat dirasakan dan dimanfaatkan
oleh masyarakat Indonesia dimanapun mereka berada. Pembangunan PLTS Terpusat di
kawasan Marga Belimbing bukanlah sebuah perkara yang mudah dikarenakan sangat terbatasnya
akses transportasi untuk menjangkau daerah tersebut. Apalagi peralatan PLTS
Terpusat jumlahnya sangat banyak. Beberapa komponen berdimensi sangat besar dan
berbobot sangat berat. Untuk menghadirkan kemerdekaan berenergi memang butuh
perjuangan, seperti para pendahulu bangsa dalam mewujudkan Kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Gambar 3. PLTS di Desa Siring Gading
~~~bersambung
#15HariCeritaEnergi
#DiaryofPatriotEnergi
Referensi:
Hidayatullah, Ahmad Fahmi. 2012. Skripsi: Rancang Bangun
Pembangkit Listrik Tenaga Matahari untuk Pembuatan Es di Pantai Baru, Desa
Poncosari, Bantul. Yogyakarta: Jurusan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar