Senin, 24 Oktober 2016

Sehari Sebelum Menuju Desa Pekon

Kecamatan Bengkunat Belimbing merupakan pemekaran dari Kecamatan Bengkunat sejak tanggal 31 Mei 2007. Oleh karena itu, dua kecamatan ini terletak berdekatan. Kalau berjalan dari arah Kota Agung, maka akan dijumpai terlebih dahulu Kecamatan Bengkunat Belimbing. Sebaliknya, jika berjalan dari arah Krui, maka yang akan dijumpai terlebih dahulu adalah Kecamatan Bengkunat. Kata beberapa orang, nama Kecamatan Bengkunat diambil dari nama sebuah Marga, yaitu Marga “Bang Kunat”. Nama Bengkunat Belimbing sendiri merupakan perpaduan antara dua nama Marga, yaitu Marga Bengkunat dan Marga Belimbing. Sebelum masuk ke empat pekon, kami berada terlebih dahulu di Pekon Sukajaya Kecamatan Bengkunat. Tepat satu hari sebelum masuk kami berada di Pekon Sumber Rejo, Kecamatan Bengkunat Belimbing. Di Pekon tersebut terdapat sebuah pasar, tempat terjadinya transaksi jual beli kebutuhan hidup maupun hasil pertanian. Pasar tersebut adalah pasar Way Heni yang hari pasarannya adalah Selasa dan Kamis.
Selama di Way Heni, dari barang bawaan kami serta tingkah laku kami menandakan bahwa kami adalah pendatang. Penyamaran kami pun gagal, kami masih belum bisa berpenampilan seperti warlok (warga lokal). Maklum saja kami tidak berbakat dalam dunia per-akting-an. Dengan begitu, setiap kami bertemu dengan orang mesti kami ditanya akan kemana. Mulai dari penjual pulsa, warung kelontong maupun pedagang pasar melontarkan pertanyaan yang hampir sama. Sontak kami akan menjawab bahwa kami akan menuju “Way Haru”. Masyarakat di luar empat pekon memang lebih akrab dengan nama “Way Haru” dibanding dengan Bandar Dalam, Siring Gading dan Way Tias. Maklum saja bahwa pribumi yang menempati wilayah Marga Belimbing adalah orang-orang Way Haru. Ada yang mengatakan bahwa Bandar Dalam merupakan pindahan dari daerah Belimbing atau Pengekahan akibat gusuran kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Sementara, Way Tias dan Siring Gading merupakan pemekaran dari Way Haru.
Mendengar kata “Way Haru” banyak sekali cerita dengan segala bumbu-bumbunya. Ada yang mengatakan bahwa di daerah tersebut masih 100 % penduduk asli. Ada pula yang mengatakan masih banyaknya satwa buas nan liar seperti: monyet, babi, gajah, harimau, buaya dan lain sebagainya. Maklum saja empat pekon tersebut terletak di antara Samudera Hindia dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Yang agak ngeri adalah “racun”. Banyak orang yang mewanti-wanti kepada kami agar waspada pada saat bertamu. “Racun” tersebut biasanya dicampur dalam minuman yang disajikan. Ciri-ciri minuman yang disajikan telah dicampur dengan racun adalah jika bagian bawah gelas dingin namun bagian pinggir panas atau sebaliknya. Yang lain lagi ada yang mengatakan bahwa daerah yang akan kami datangi merupakan daerah tempat pelarian para buronan, seperti bandar narkoba, pelaku teroris dan lain sebagainya.
Ada juga kabar baik bahwa nantinya kita akan menemui ikan dengan sangat murah bahkan gratis karena lokasinya yang berada di tepian Samudera Hindia. Kabar baik lainnya adalah banyaknya buah-buahan seperti durian dan duku yang akan dijumpai, seperti banyaknya rambutan pada saat musimnya di Sleman, Yogyakarta. Mari buktikan sendiri saja ketika di lokasi. Pikir kami, tentunya dengan mengharapkan yang terbaik agar terhindar dari hal-hal yang buruk.

Rabu pagi tanggal 27 Juli 2016, empat motor ojek yang akrab disebut dengan “Grandong” telah siap mengantarkan kami untuk melewati tepian pantai yang terletak di ujung barat daya Pulau Sumatera demi menuju empat pekon terisolir. Kami pun berangkat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar