Selasa, 18 November 2014

Nyempil di Hamparan Samudera Kehidupan

Nyempil di Hamparan Samudera Kehidupan



Kita bagaikan satu butiran hujan di antara hujan gerimis yang mengguyur panasnya kota di hari ini.

Kita bagaikan satu butiran pasir di antara bertakhingga pasir yang terhampar indah di sebuah pantai berpasir putih.

Kita bagaikan sebuah buih yang terombang-ambing di tepian dermaga pelabuhan para nelayan di antara buih-buih yang terhampar di seluruh samudera yang menjadi bagian terbesar Bumi kita tercinta.

Kita hanya bagian kecil di Planet Bumi, sementara Bumi hanyalah bagian dari sistem tata surya dengan Matahari sebagai pusatnya. Matahari sendiri bergerak mengelilingi pusat galaksi Bimasakti. Di luar Galaksi Bimasakti, masih banyak galaksi-galaksi lain yang bergerak bersama untuk mengelilingi pusat cluster-nya. Banyak sekali cluster-cluster yang menyusun alam semesta ini. Kita hanyalah bagian yang sangat kecil di alam semesta ini.

Sementara, seberapa besar pengorbanan yang telah kita lakukan? Bagi kehidupan ini? Bagi Alam semesta ini? Bagi Bumi ini? Bagi Negara tercinta ini? Bagi sekitar kita? Atau bahkan bagi diri sendiri?




Hujan, sebagai Pengingat


Hujan, sebagai Pengingat

Hujan mengingatkan akan banyak peristiwa di masa kecil. Pada waktu itu, sering sekali ‘mencuri-curi’ kesempatan agar bisa hujan-hujanan.  Main bola dan kejar-kejaran di sawah merupakan permainan yang sangat menarik pada waktu itu. Hujan merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi sebagian besar anak kecil, khususnya bagi yang hidup di desa yang di sana masih terdapat sawah-sawah. Sawah merupakan tempat favorit untuk sekedar bermain kejar-kejaran atau dorong-dorongan sampai lempar-lemparan lumpur. Hujan yang sangat favorit bagi anak-anak adalah hujan yang butir-butir airnya tidak sebesar biji jagung yang bisa membuat sakit jika terkena badan apalagi wajah. Tidak juga terlalu kecil, hanya gerimis, karena gerimis relatif lebih sering membuat demam. Hujan yang favorit juga terbebas dari guntur, petir dan angin. Suara guntur dan kilatan petir merupakan sebuah momok yang menakutkan bagi anak-anak yang biasanya jika kilatan petir dan gemuruh guntur datang, anak-anak langsung bersembunyi sambil merunduk serta menutup telinga dengan kedua tangannya. Hujan juga mengingatkan akan merdunya suara katak yang saling bersahutan. Belum lagi suara jangkrik beserta orong-orong yang menambah harmonis senandung alam di pedesaan. Hujan akan membuat semakin nikmat dalam menyeruput teh hangat serta menyantap potong pisang goreng atau kadang-kadang tempe mendo dengan beberapa buah cabai atau tela goreng jika dibandingkan dengan waktu-waktu yang lainnya. Hujan memang mengundang rindu akan masa kecil dan kampung halaman. Terkadang, kalau memang tidak bisa “mencuri” waktu untuk hujan-hujanan, masih ada permainan imajinasi yang mengasyikkan. Berdiri di bawah tepian atap rumah atau bisa dari balik jendela, lalu pandangi barisan rintik hujan yang jatuh dari atap rumah, maka kau akan merasakan seolah-olah sedang terbang ke angkasa.
Namun, hujan sekarang seakan-akan menjadi suatu penghambat, sewaktu-waktu kita mencela hanya karena takut basah jika mau bepergian. Atau sekedar kesulitan dalam menjemur pakaian. Atau dijadikan alasan untuk membatalkan suatu janji. Bahkan hujan dijadikan kambing hitam agar kita menjadi malas untuk mengerjakan sesuatu. Atau alasan-alasan lain yang mengatasnamakan hujan. Seakan-akan hujan itu menakutkan, padahal pada waktu kecil, hujan itu sangat mengasyikkan. Bagi para petani atau daerah-daerah lain yang mengandalkan air hanya dari air hujan dengan perlengkapan PAH (Penampungan Air Hujan)-nya hujan merupakan suatu anugerah yang sangat luar biasa. Hujan sangat berarti bagi mereka. Dengan datangnya musim hujan, maka tidak ada uang lagi yang dikeluarkan untuk membeli satu tangki air yang berisi 6.000 Liter seharga sekitar Rp. 150.000,00. Hujan juga menggemburkan tanah ladang milik mereka yang artinya adalah waktunya menanam padi. Bagi mereka, menanam padi hanya bisa dilakukan pada musim penghujan saja, satu kali selama satu tahun. Air gratis beserta waktu tanam padi bagi misalnya warga yang tinggal di daerah perbukitan karst di Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul merupakan kenikmatan dari turunnya hujan.
Di sini, bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan, hujan seakan-akan mengguyur panasnya suhu udara. Meredam suasana yang panas sepanjang hari, bahkan barangkali turut serta dalam meredam emosi yang berkecamuk di Ibukota. Memang tidak bisa dipungkiri, pada saat tertentu, bahkan banyak terjadi di kota-kota yang ada di Indonesia, hujan menjadi pemicu datangnya banjir. Beberapa daerah bahkan terkena banjir bandang. Tapi apakah itu karena hujan? Bukankah sebagian besar dari kita sering membuang sampah sembarang? Atau bahkan yang dijadikan tempat sampah adalah sungai, selokan, tempat saluran air? Lalu, bagaimana dengan terjadinya banjir bandang? Adakah yang pernah melakukan penebangan hutan secara sembarang? Adakah yang pernah melakukan sesuatu yang menyebabkan kerusakan hutan?

Hujan tak pernah salah, hujan turun sebagai rahmat dari-Nya. Hujan membasahi tanah-tanah yang kering sehingga menumbuhkan tanaman-tanaman. Dari tanaman tersebut, terbentuklah buah-buah atau yang lainnya yang bisa dimanfaatkan oleh manusia. Tiadalah pantas kita menghardik, mencerca, menyalahkan, mengkambinghitamkan hujan. Yang seharusnya kita lakukan adalah berdoa, bermunajat kepada Yang Mahakuasa, agar diturunkan hujan yang bermanfaat.