Video: Purwodadi Energy Village
Berkenaan dengan tema “Mengapa Pengembangan Energi Alternatif Terkendala” yang terkandung dalam pesan (artikel) berjudul “Desa Mandiri Energi” di www. darwinsaleh.com, saya berpandangan bahwa saya setuju dengan pengembangan Desa ataupun kawasan Mandiri Energi karena banyak daerah di Indonesia yang tidak terjangkau oleh jaringan listrik PLN sehingga untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut harus ‘mandiri’ berasal dari daerah tersebut, khususnya di daerah-daerah yang termasuk dalam kategori Pulau 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Urgensi pengembangan energi terbarukan di daerah 3T adalah sebagai garda terdepan dalam ketahanan energi nasional.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat sebanyak 87,62 % atau 15.337 pulau di Indonesia tidak berpenghuni sementara sekitar 12,38 % atau sekitar 2.342 pulau berpenghuni.[1] Dengan kondisi geografis Indonesia tersebut maka Pemerintah mengalami kesulitan dalam memenuhi sarana dan prasarana di seluruh penjuru negeri, misalnya: sarana kesehatan, pendidikan, ketersediaan air bersih dan listrik. Khusus untuk listrik, rasio elektrifikasi di Indonesia pada tahun 2012 secara keseluruhan adalah 76,56 % yang artinya sekitar 23,44 % masyarakat Indonesia belum menikmati akses listrik. Terlebih lagi di beberapa daerah rasio elektrifikasinya sangat rendah, misalnya NTB (53,63 %), (NTT 53,42 %) dan Papua (34,62 %).[2]
Khusus untuk daerah-daerah yang terletak di perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ada beberapa hal yang sangat ironis terkait dengan kondisi listrik yang ada jika dibandingkan dengan kondisi listrik dari negara-negara tetangga. Misalnya di Pulau Sebatik yang terletak di Pulau Kalimantan bagian utara dan berbatasan dengan Malaysia, terlihat bahwa pada malam hari dapat dilihat secara sekilas perbedaan yang sangat mencolok antara daratan Indonesia dengan kondisi gelap-gulitanya sementara daratan Malaysia terlihat kelap-kelip pancaran cahaya lampu kotanya.[3] Begitu juga yang terjadi di Kecamatan Belakang Padang, Provinsi Kepulauan Riau, yang berbatasan dengan Singapura. Hampir mirip juga dengan apa yang terjadi di Pulau Maratua yang ada di tengah Laut Sulawesi yang berbatasan dengan Malaysia dan Filipina, gelap gulita, sementara beberapa resorts atau penginapan-penginapan yang berdiri megah di pulau-pulau kecil di dekatnya, milik orang Jerman, terang benderang. Padahal pemanfaatan renewable energy yang maksimal bisa menjadi solusi krisis energi yang terjadi di Indonesia, terutama di pulau-pulau 3T. Salah satu energi terbarukan yang berpotensi dikembangkan di Indonesia adalah energi surya karena secara umum Indonesia terletak di daerah tropis, sehingga memiliki potensi energi surya yang cukup besar. Berdasarkan data Kementrian ESDM pada tahun 2011 potensi rata-rata radiasi surya di Indonesia adalah sekitar 4,8 kWh/m2/hari dengan variasi bulanan sekitar 9%.
Gambar 1. Potensi Energi Surya di Indonesia [4]
Potensi energi tersebut dapat digunakan untuk memenuhi ketahanan energi listrik di daerah 3T. Misalnya untuk Pulau Maratua. Pulau Maratua merupakan daerah yang memiliki keindahan wisata alam yang sangat potensial dimana setiap hari jumlah wisatawannya terus meningkat. Namun, potensi tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik karena keterbatasan akses jaringan listrik.[5] Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur pada tahun 2010, rasio elektrifikasi di Kecamatan Maratua adalah 37,03%. Artinya 63,97 % masyarakat di Pulau Maratua belum menikmati akses listrik.[6] Sehubungan dengan potensi energi surya yang besar di daerah tropis, maka pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebagai salah satu solusi masalah dalam akses listrik sangat layak diterapkan di Pulau Maratua.
Gambar 2. Peta Pulau Maratua[7]
Pembangunan PLTS, selain dapat memenuhi kebutuhan energi listrik, juga memiliki berbagai keuntungan sabagai berikut: bersih, ramah lingkungan, energi terbarukan, tidak akan habis, panel surya memiliki umur yang panjang/investasi jangka panjang, sangat cocok untuk iklim tropis seperti Indonesia, mudah dipasang dan dirawat, awet, bandel dan tahan cuaca.[8] Sejauh ini, pemenuhan kebutuhan listrik di Pulau Maratua menggunakan generator set (Genset) listrik berbahan bakar solar dengan harga Rp. 9.000, 00 per botol yang tidak mencapai 1 liter dan hanya mampu digunakan selama 6 jam untuk pengisian solar sebanyak tujuh botol. Di samping mahal, penggunaan solar dalam menghidupkan PLTD juga menimbulkan efek lain berupa pencemaran udara akibat emisi gas CO2.
Gambar 3. Skema Pembangkit Listrik Tenaga Surya[9]
Di sisi lain, dalam tahap implementasi pembangunan PLTS pada khususnya, pembangunan proyek energi terbarukan pada umumnya, masalah utama yang dihadapi adalah bagaimana proyek energi terbarukan tersebut dapat beroperasi secara berkelanjutan. Masalah tersebut merupakan tantangan yang besar yang harus segera dibenahi. Akan sangat aneh jikalau proyek renewable energy yang sejatinya merupakan energi yang dapat diperbaharui tidak dapat sustainable (berkelanjutan). Alih-alih melakukan penghematan sebanyak Rp 18 triliun/tahun jika pembangunan seluruh 58.400 desa (desa non perkotaan) di Indonesia terealisasi (sesuai yang tercantum di www. darwinsaleh.com), malah menyebabkan banyak kerugian negara jikalau proyek tersebut tidak berjalan berkelanjutan. Perlu diketahui bahwa investasi dalam pembangunan proyek energi terbarukan sangat mahal, untuk setiap 10 megawatt (MW) dibutuhkan investasi sebesar USD100 miliar.[10] Proyek energi terbarukan akan mengalami keuntungan dalam jangka waktu yang panjang sehingga sustainable dalam proyek energi terbarukan adalah hal yang penting. Sustainable merupakan tambahan dari Tantangan Pengembangan Energi Terbarukan yang tercantum dalam www. darwinsaleh.com.
Masalah sustainable tersebut dapat diatasi dengan tahap perencanaan yang baik dalam proses pembangunan proyek energi terbarukan. Salah satu contoh proyek energi terbarukan yang masih beroperasi adalah proyek pembangunan Solar Water Pumping System (SWPS) di Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Yogyakarta.[11] SWPS merupakan sebuah sistem pengangkatan air yang memanfaatkan energi surya untuk menghidupkan pompa. SWPS tersebut merupakan sebuah sistem yang dibangun oleh kelompok mahasiswa bersama dengan masyarakat. Mahasiswa yang tergabung dalam tim KKN PPM UGM (Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat Universitas Gadjah Mada) dan Kamase (Komunitas Mahasiswa Sentra Energi) mulai merancang sistem SWPS pada tahun 2007. Selanjutnya bersama dengan masyarakat melakukan tahap-tahap sebagai berikut.
Gambar 4. Tahap-Tahap Implementasi Solar Water Pumping System di Panggang
Tahap yang paling penting dalam sustainable SWPS tersebut adalah pada tahap Pelatihan Perawatan dan Pembentukan Organisasi Pengelola SWPS. Organisasi Pengelola merupakan organisasi yang dibentuk oleh masyarakat dan tersusun dari masyarakat. Mahasiswa berperan sebagai pendamping dalam pembentukan dan kelancaran berjalannya organisasi tersebut. Dengan terbentuknya organisasi tersebut maka sampai sekarang SWPS masih beroperasi.
Gambar 5. Solar Water Pumping System Panggang [12]
Belajar dari proyek SWPS di Panggang, Kabupaten Gunungkidul tersebut, maka dalam pembangunan proyek energi terbarukan, khususnya dalam rangka Mewujudkan Pemanfaatan Energi Terbarukan di Pulau 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) sebagai Garda Terdepan dalam Ketahanan Energi Nasional diperlukan tiga tahapan utama agar proyek tersebut dapat sustainable, yaitu:
1. Tahapan Perancangan dan Pengenalan Teknologi kepada Masyarakat
2. Tahapan Pembangunan Sistem Bersama dengan Masyarakat
3. Tahapan Pelatihan Perawatan kepada Masyarakat dan Pembentukan Organisasi Pengelola Sistem
Mahasiswa pada khususnya serta Kaum Muda pada umumnya berperan dalam pendampingan kepada masyarakat dalam tahapan-tahapan tersebut. Bagi Mahasiswa, salah satu program yang dapat diikuti untuk mendampingi masyarakat adalah program Kuliah Kerja Nyata.
Pada akhirnya, program pembentukan Desa Mandiri Energi dalam rangka “Mewujudkan Pemanfaatan Energi Terbarukan di Pulau 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) sebagai Garda Terdepan dalam Ketahanan Energi Nasional”dapat bermanfaat jika Desa Mandiri Energi dapat berjalan dengan sustainable. Keberlanjutan Desa Mandiri Energi tersebut bila kelak sudah dikembangkan di seluruh 58.400 desa (desa non perkotaan) di Indonesia, maka bisa menghemat APBN sebanyak Rp. 18 triliun/tahun.
Salam Renewable Energy untuk Negeri!!!
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari www.darwinsaleh.com. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Referensi:
[1] Al Alamudin, Arifin. 2013. 87 Persen Pulau di Indonesia Belum
Berpenghuni. Diakses dari http://www.tribunnews.com/2013/05/15/87-persen-pulau-di-indonesia-belum-berpenghuni.
[2] Lopes,
Fabio. 2013. Rasio Elektrifikasi Dinilai
Belum Merata. Diakses dari: http://regional.kompas.com/read/2013/02/19/00021176/Rasio.Elektrifikasi.Dinilai.Belum.Merata.
[3]
Paonganan,
Y. 2013. Pulau Sebatik: Dilema Rakyat di Ujung Negeri. Diakses dari: http://indomaritimeinstitute.org/2013/02/pulau-sebatik-dilema-rakyat-di-ujung-ngeri/
[4]
Kementeriaan
ESDM. 2013. Dukung Kebijakan Energi
Nasional dengan Pemetaan Potensi Energi Terbarukan. Diakses dari: http://www.esdm.go.id/news-archives/323-energi-baru-dan-terbarukan/6259-dukung-kebijakan-energi-nasional-dengan-pemetaan-potensi-energi-baru-terbarukan.html
[5]
KKN
PPM UGM Unit KTM 01 Maratua tahun 2013. 2013. Laporan KKN. Yogyakarta: KKN PPM UGM.
[6] Dinas
Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur. 2011. Data Rasio Desa Berlistrik dan Rasio Elektrifikasi sampai tahun 2010
Kabupaten/Kodya di Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda: Dinas Pertambangan
dan Energi Provinsi Kalimantan Timur.
[8] Hidayatullah,
Ahmad Fahmi. 2012. Skripsi: Rancang
Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Matahari untuk Pembuatan Es di Pantai Baru,
Desa Poncosari, Bantul. Yogyakarta: Jurusan Teknik Fisika Universitas
Gadjah Mada.
[9] My Solar Shop. Solar
Panel Diagram. Diakses dari: http://www.mysolarshop.co.uk/solar-panel-diagram-i-94.html
[10] Astutik,
Yuni. 2011. Investasi Mahal, Energi Terbarukan Tetap Harus Dikembangkan.
Diakses dari: http://economy.okezone.com/read/2011/07/08/320/477573/investasi-mahal-energi-terbarukan-tetap-harus-dikembangkan
[11] Prakoso,
Ari Bimo. 2012. Implementation of Solar
Water Pumping System in Panggang Rural Community. Diakses dari: http://aribimoprakoso.wordpress.com/2012/03/18/implementation-of-solar-water-pumping-system-in-panggang-rural-community/
[12] http://narendra-widianto.blogspot.com/2013/03/solar-water-pumping-system-di_27.html
[12] http://narendra-widianto.blogspot.com/2013/03/solar-water-pumping-system-di_27.html