Kecamatan Bengkunat Belimbing merupakan pemekaran dari
Kecamatan Bengkunat sejak tanggal 31 Mei 2007. Oleh karena itu, dua kecamatan
ini terletak berdekatan. Kalau berjalan dari arah Kota Agung, maka akan
dijumpai terlebih dahulu Kecamatan Bengkunat Belimbing. Sebaliknya, jika
berjalan dari arah Krui, maka yang akan dijumpai terlebih dahulu adalah
Kecamatan Bengkunat. Kata beberapa orang, nama Kecamatan Bengkunat diambil dari
nama sebuah Marga, yaitu Marga “Bang Kunat”. Nama Bengkunat Belimbing sendiri
merupakan perpaduan antara dua nama Marga, yaitu Marga Bengkunat dan Marga
Belimbing. Sebelum masuk ke empat pekon, kami berada terlebih dahulu di Pekon
Sukajaya Kecamatan Bengkunat. Tepat satu hari sebelum masuk kami berada di
Pekon Sumber Rejo, Kecamatan Bengkunat Belimbing. Di Pekon tersebut terdapat
sebuah pasar, tempat terjadinya transaksi jual beli kebutuhan hidup maupun
hasil pertanian. Pasar tersebut adalah pasar Way Heni yang hari pasarannya
adalah Selasa dan Kamis.
Selama di Way Heni, dari barang bawaan kami serta tingkah
laku kami menandakan bahwa kami adalah pendatang. Penyamaran kami pun gagal,
kami masih belum bisa berpenampilan seperti warlok (warga lokal). Maklum saja
kami tidak berbakat dalam dunia per-akting-an. Dengan begitu, setiap kami
bertemu dengan orang mesti kami ditanya akan kemana. Mulai dari penjual pulsa,
warung kelontong maupun pedagang pasar melontarkan pertanyaan yang hampir sama.
Sontak kami akan menjawab bahwa kami akan menuju “Way Haru”. Masyarakat di luar
empat pekon memang lebih akrab dengan nama “Way Haru” dibanding dengan Bandar
Dalam, Siring Gading dan Way Tias. Maklum saja bahwa pribumi yang menempati
wilayah Marga Belimbing adalah orang-orang Way Haru. Ada yang mengatakan bahwa
Bandar Dalam merupakan pindahan dari daerah Belimbing atau Pengekahan akibat
gusuran kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Sementara, Way Tias dan
Siring Gading merupakan pemekaran dari Way Haru.
Mendengar kata “Way Haru” banyak sekali cerita dengan segala
bumbu-bumbunya. Ada yang mengatakan bahwa di daerah tersebut masih 100 %
penduduk asli. Ada pula yang mengatakan masih banyaknya satwa buas nan liar
seperti: monyet, babi, gajah, harimau, buaya dan lain sebagainya. Maklum saja
empat pekon tersebut terletak di antara Samudera Hindia dan Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Yang agak ngeri adalah “racun”. Banyak orang yang
mewanti-wanti kepada kami agar waspada pada saat bertamu. “Racun” tersebut
biasanya dicampur dalam minuman yang disajikan. Ciri-ciri minuman yang
disajikan telah dicampur dengan racun adalah jika bagian bawah gelas dingin
namun bagian pinggir panas atau sebaliknya. Yang lain lagi ada yang mengatakan
bahwa daerah yang akan kami datangi merupakan daerah tempat pelarian para buronan,
seperti bandar narkoba, pelaku teroris dan lain sebagainya.
Ada juga kabar baik bahwa nantinya kita akan menemui ikan
dengan sangat murah bahkan gratis karena lokasinya yang berada di tepian
Samudera Hindia. Kabar baik lainnya adalah banyaknya buah-buahan seperti durian
dan duku yang akan dijumpai, seperti banyaknya rambutan pada saat musimnya di
Sleman, Yogyakarta. Mari buktikan sendiri saja ketika di lokasi. Pikir kami, tentunya
dengan mengharapkan yang terbaik agar terhindar dari hal-hal yang buruk.
Rabu pagi tanggal 27 Juli 2016, empat motor ojek yang akrab
disebut dengan “Grandong” telah siap mengantarkan kami untuk melewati tepian
pantai yang terletak di ujung barat daya Pulau Sumatera demi menuju empat pekon
terisolir. Kami pun berangkat.