Global warming merupakan salah satu dampak dari kerusakan
lingkungan yang diakibatkan dari aktivitas manusia. Global warming saat ini telah meningkatkan suhu bumi. James Hansen
(2012), menjelaskan bahwa peningkatan suhu bumi sejak abad ke 20 mencapai 0,51o
C. Faktor utama terjadinya bencana besar ini adalah akibat emisi gas
rumah kaca. Protokol Kyoto mengatur enam jenis gas-gas rumah kaca yaitu CO2,
Metana (CH4), Nitrogen Oksida (N2O), dan tiga jenis lagi
yang mengandung flour seperti HFC, PFC dan SF6 dan karbon dioksida
memiliki persentase lebih dari 70 % dari volume total gas rumah kaca ini.
Gambar 1. Ilustrasi Emisi CO2
Emisi gas rumah kaca diberikan dari
aktivitas pemenuhan kebutuhan manusia. BBPT dalam “Perencanaan Efisiensi dan
Elastisitas Energi di Indonesia” menyebutkan bahwa pemenuhan kebutuhan energi
di Indonesia dipenuhi dengan energi baur yang dapat diilustrasikan pada gambar
berikut ini:
Diketahui bahwa sebagian besar
kebutuhan energi Indonesia dipenuhi dengan menggunakan energi fosil seperti:
minyak, gas maupun batubara. Penggunaan bahan bakar ini sudah tentu akan
menyebabkan potensi emisi CO2 semakin besar dan menambah resiko global warming.
Di sisi lain, pertumbuhan penduduk
semakin hari semakin meningkat. Pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol
menyebabkan berbagai permasalahan timbul, misalnya: kepadatan penduduk
bertambah sementara pemukiman layak huni semakin berkurang jumlahnya. Salah
satu masalah dalam pemukiman adalah masalah sanitasi, termasuk di dalamnya
permasalahan pembuangan limbah kotoran manusia. Badan Pusat Statistik DKI
Jakarta mengungkapkan pada 2013 diperkirakan jumlah penduduk Jakarta mencapai 9.809.857
jiwa. Semakin besar jumlah penduduk maka semakin besar pula kotoran manusia
(tinja) yang dihasilkan setiap harinya. Menurut data dari Bappenas dalam satu
hari manusia mengeluarkan tinja sebanyak 125 – 250 gram, sehingga dengan jumlah
penduduk Jakarta yang mencapai 9.809.857
jiwa, maka dalam waktu 1 hari jumlah kotoran manusia di Jakarta mencapai minimal
1.226.232.125 gram atau setara dengan 1.226 ton.
Gambar 3. Mobil Sedot WC
Gambar 4. Ilustrasi WC
Kasus
pembuangan tinja hasil sedot WC ini menjadi masalah yang cukup serius. Selain
menimbulkan bau yang tidak sedap, berbagai kasus pembuangan tinja di sungai
menyebabkan tercemarnya air yang ditandai dengan kandungan bakteri Escherichia
coli di atas ambang batas yang telah
ditentukan. Lebih parah lagi jika air dalam jaringan PDAM (Perusahaan Daerah
Air Minum) tercemar oleh bakteri tersebut. Hal semacam ini menyebabkan
berbagai macam penyakit berbahaya seperti demam, tifus, cacingan, hepatitis A,
kolera, dan polio.
Dengan melihat masalah di atas, perlu adanya pemanfaatan tinja
manusia menjadi sesuatu yang berguna, misalnya biogas. Biogas adalah bahan
bakar yang diperoleh dengan cara memproses limbah/sisa pertanian yang basah,
kotoran hewan dan manusia atau campuran di antara limbah tersebut dalam sebuah
alat yang disebut digester secara anaerob (Harahap, 1978). Biogas merupakan
energi alternatif yang bisa digunakan sebagai pengganti gas LPG untuk memasak,
atau bisa juga digunakan untuk membangkitkan energi listrik. Teknologi biogas
merupakan salah satu teknologi yang ramah lingkungan dan terbarukan. Pemanfaatan
biogas dapat mengurangi emisi gas CH4. Seperti diketahui bahwa gas
CH4 memiliki potensi 20 kali lipat lebih berbahaya dibandingkan gas
CO2 dalam sumbangsihnya kepada pemanasan global jika gas tidak dimanfaatkan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dintani (2013), biogas kotoran sapi di
daerah Bantul sebanyak 25.000 ekor yang dipusatkan dalam satu tempat, dapat
menghasilkan listrik sebesar 1,8 MW. Hal ini dapat diterapkan pula pada tinja
manusia.
Limbah kotoran manusia di Jakarta dapat dimanfaatkan untuk
membangkitkan energi listrik dengan sistem penampungan tinja terpusat. Sistem
ini dimulai dari pembuangan tinja dari perumahan maupun gedung-gedung lainnya
yang terhubung dengan sistem pipa pembuangan tinja terpusat. Pipa pembuangan
tinja tersebut dihubungkan dengan UPLS Pulo Gebang dan Duri Kosambi. Tinja di UPLS
diolah untuk menghasilkan listrik. Di UPLS tersebut, terjadi pengolahan kotoran
manusia menjadi biogas yang dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan energi
listrik. Hasil samping berupa lumpur sisa pengolahan kotoran manusia menjadi
biogas dapat dimanfaatkan sebagai sebagai pupuk.
Pipa pembuangan saluran terpusat ini memiliki peran untuk
mengalirkan tinja dari perumahan-perumahan maupun gedung-gedung lainnya. Pipa
tersebut harus dirancang agar tidak mengalami kebocoran yang berpotensi
mencemari air tanah. Pipa tersebut juga dirancang agar tinja manusia dapat
sampai secepat mungkin ke UPLS sehingga di beberapa titik saluran pipa
pembuangan tinja tersebut perlu dibangun terminal penghembus. Tujuannya adalah
agar tinja segera diproses untuk dijadikan biogas di UPLS.
Kadir (2005) mengatakan bahwa
rata-rata produksi kotoran kering pada manusia adalah sebesar 0,07 kg/hari dan
setiap kg material kering mampu menghasilkan biogas sebesar 0,4 m3/kg.
Sehingga potensi kotoran kering per hari di Jakarta adalah 686.689 kg dan
potensi volume biogas perharinya adalah 274.676 m3. Nilai tersebut
setara dengan 1.779 MWh dalam waktu sehari atau setara dengan 74,1 MW setiap
jam. Potensi tersebut dapat digunakan untuk mengaliri 74.100 rumah dengan daya
setiap rumah 1 kW.
Gambar 5. Green Power, Teknologi Ramah Lingkungan
Pemanfaatan kotoran manusia sebagai bahan baku Pembangkit Listrik
Tenaga Biogas pada Unit Pengolahan Limbah Septictank, di samping dapat
menghasilkan energi listrik, juga mengatasi permasalahan pembuangan tinja dan
pengurangan emisi CO2. Seperti diketahui bahwa penggunaan energi
terbarukan untuk menghasilkan listrik dapat menggantikan peran BBM yang dalam
penggunaannya menghasilkan emisi gas CO2. Konsep tersebut dapat
membantu dalam penyelesaian masalah pembuangan limbah kotoran manusia karena
keterbatasan area pembangunan septictank
sekaligus dalam rangka memanfaatkan energi terbarukan yang ramah lingkungan.